Problem Kehidupan Beragama di Tengah Masyarakat Bhineka
Indonesia adalah negara dengan masyarakt yang kompleks. Diantara kompleksitas itu ialah bahwa masyarakat Indonesia menganut beberapa kepercayaan dan agama. Kepercayaan dan agama dalam fikiran penganutnya diyakini sebagai sekumpulan ajaran yang benar, dan karenanya harus diikuti, untuk tujuan kehidupan yang baik, bahagia, sejah tera, bahkan selamat bukan saja didunia melainkan hingga akherat. Secara umum, keyakinan dalam kepercayaan dan agama menempuh format yang sama, yaitu KEBAHAGIAAN HIDUP---DI DUNIA---DI AKHERAT. Akan tetapi, format yang sama itu memiliki potensi untuk berbenturan satu sama lain.
Potensi benturan itu pertama-tama ada pada tingkat immaterial-konseptual. Kemudian pada tingkat material-operasionalal atas konsep itu. Sekalipun diandaikan bahwa benturan ditingkat immaterial-konseptual bukanlah masalah yang terlalu beresiko karena bentuknya yang immaterial, namun realitasnya faktor itulah yang menjadi titik picu dari kerawanan benturan yang dimaksud. Hal itu karena yang immaterial konseptual itu telah dimasuki, atau bahkan mungkin dikaitan dengan faktor sejarah, politik, ekonomi dan seterusnya yang esensinya adalah pergulatan eksistensi manusia juga. Yang kedua, karena sifatnya yang immaterial-konseptual itulah maka ia merupakan kekuatan inspirasi, motivasi, dan aksi, yang apabila tanpa “kendali” akan dapat memicu benturan ditingkat material-operasional. Sementara itu, tingkat material-operasional sebenarnya relatif rendah tungkat kerawanan benturannya oleh karena ini adalah tingkat yang dialami secara ril dan dapat dirasakan dan mudah dipertukarkan. Namun demikian, kualitas dan intensitas pengaitannya dengan dengan yang pertama (immaterial-konseptual) dapat meningkatkan kerawanan benturan. Dan ini amat berbahaya karena telah memasuki dunia fisik.
Hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan ini, pada masyarakat yang kompleks tidak bisa dipisahkan dengan masalah-masalah kehidupan lainnya, seperti masalah etnis, bahasa, kebudayaan, latar belakang kehidupan, tingkat pendidikan dan lainnya, melainkan salaing berkelindan antara satu dengan lainnya. Hal inilah yang kemudian masalah kehidupan beragama menjadi lebih kompleks dari sekedar gambaran di atas. Akan tetapi, dilihat dari sisi positif, kompleksitas demikian sesungguhnya dapat merupakan kekuatan yang cukup dahsyat.
Paradigma yang kita ambil, sayangnya adalah paradigma menghindar dari masalah, atau mengatasinya. Maka dari itu jalan yang ditempuh ialah bagaimana kita mengeleminir masalah itu. Dan jalan pertama yang dapat kita temukan pertama ialah menumbuhkan toleransi. Menumbuhkan toleransi adalah menyentuh aspek immaterial-konseptual, bukannya aspek material-operasional yang bersifat langsung dan melahirkan pengalaman. Paradigma demikian, sekalipun cukup rumit, mungkin yang lebih baik. Akan tetapi, pencarian alternatif perlu juga difikirkan.
Potensi benturan itu pertama-tama ada pada tingkat immaterial-konseptual. Kemudian pada tingkat material-operasionalal atas konsep itu. Sekalipun diandaikan bahwa benturan ditingkat immaterial-konseptual bukanlah masalah yang terlalu beresiko karena bentuknya yang immaterial, namun realitasnya faktor itulah yang menjadi titik picu dari kerawanan benturan yang dimaksud. Hal itu karena yang immaterial konseptual itu telah dimasuki, atau bahkan mungkin dikaitan dengan faktor sejarah, politik, ekonomi dan seterusnya yang esensinya adalah pergulatan eksistensi manusia juga. Yang kedua, karena sifatnya yang immaterial-konseptual itulah maka ia merupakan kekuatan inspirasi, motivasi, dan aksi, yang apabila tanpa “kendali” akan dapat memicu benturan ditingkat material-operasional. Sementara itu, tingkat material-operasional sebenarnya relatif rendah tungkat kerawanan benturannya oleh karena ini adalah tingkat yang dialami secara ril dan dapat dirasakan dan mudah dipertukarkan. Namun demikian, kualitas dan intensitas pengaitannya dengan dengan yang pertama (immaterial-konseptual) dapat meningkatkan kerawanan benturan. Dan ini amat berbahaya karena telah memasuki dunia fisik.
Hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan ini, pada masyarakat yang kompleks tidak bisa dipisahkan dengan masalah-masalah kehidupan lainnya, seperti masalah etnis, bahasa, kebudayaan, latar belakang kehidupan, tingkat pendidikan dan lainnya, melainkan salaing berkelindan antara satu dengan lainnya. Hal inilah yang kemudian masalah kehidupan beragama menjadi lebih kompleks dari sekedar gambaran di atas. Akan tetapi, dilihat dari sisi positif, kompleksitas demikian sesungguhnya dapat merupakan kekuatan yang cukup dahsyat.
Paradigma yang kita ambil, sayangnya adalah paradigma menghindar dari masalah, atau mengatasinya. Maka dari itu jalan yang ditempuh ialah bagaimana kita mengeleminir masalah itu. Dan jalan pertama yang dapat kita temukan pertama ialah menumbuhkan toleransi. Menumbuhkan toleransi adalah menyentuh aspek immaterial-konseptual, bukannya aspek material-operasional yang bersifat langsung dan melahirkan pengalaman. Paradigma demikian, sekalipun cukup rumit, mungkin yang lebih baik. Akan tetapi, pencarian alternatif perlu juga difikirkan.
Kehidupan Beragama dalam Masyarakat Madani
Dalam kehidupan bernegara dikenal istilah “Civil Society”. Biasanya istilah ini menggambarkan perkuatan masyarakat terhadap dominasi pemerintah. Konsep-konsep yang sering dikaitkan dengan ini antara lain: “Demokrasi”, “Persamaan Hak”, “Kebebasan Individu”. Dimaksudkan dengan itu semua, negara tidak lagi memiliki kekuasaan absolut, sedemikian rupa sehingga rakyat hanya harus mengikuti dan mentaati apa yang dikehendaki pemerintah, melainkan rakyat harus diperhitunggakan sebagai kekuatan yang menentukan dalam kehidupan bernegara. Namun hal yang mendasar dari itu, ialah bahwa individu sebagai anggota masyarakat memiliki hak-haknya yang “bebas” untuk berekspresi, termasuk menjalankan, atau melakukan apa yang telah menjadi keyakinannya, termasuk keyakinan agama dan kepercayaannya. Ketika hal itu terjadi, maka kemungkinan benturan antara anggota masyarakat menjadi terbuka.
Masyarakat Madani mengandaikan “Civil Society” yang bebas konflik, jauh dari hal-hal yang dapat menimbulkan benturan-benturan, sekalipun di dalamnya ada kebebasan individu, termasuk kebebasan beragama. Atau dapat dikatakan bahwa masyarakat madani mengandaikan suatu masyarakat yang kehidupan agamanya justru melahirkan bukan saja kedamaian, melainkan juga menghadirkan kekuatan untuk maju dan berkembang. Kata “madani” yang berarti “peradaban” dihubungkan dengan kota “Madinah”, yaitu kota yang dibangun dan dipimpin oleh Rasulullah, yang dalam kehidupannya menjunjung kebebasan individu, termasuk kebebasan memeluk dan manjalankaan agamanya masing-masing, yang darinya melahirkan sebuah peradaban yang mencerahkan dunia.
Masyarakat yang dibangun Rasulullah itu memberikan tempat bagi kehidupan agama-agama yang dalam ajarannya sering difahami sebagai saling bertentangan dan dalam realitas sejarahnya saling berperang. Namun Rasulullah menyandingkan komunitas agama itu sedemikian rupa sehingga masing-masingnya saling menghormati dan bahkan saling membantu.
Kehidupan yang toleran antar masyarakat dengan jamak agama itu dengan demikian juga merupakan kekuatan dan modal bagi terciptanya masyarakat madani. Masyarakat madani tanpa kehidupan keagamaan yang toleran sulit dibayangkan akan terbentuk. Agama dalam diri manusia berada dalam keyakinan yang paling dalam dan paling kuat, sehinggga memiliki potensi yang cukup kuat untuk terjadinya “kekerasan” jika tidak tterkendali. Mana kala iitu terjadi, maka masyarakat madani tidak akan tercipta.
Masyarakat Madani mengandaikan “Civil Society” yang bebas konflik, jauh dari hal-hal yang dapat menimbulkan benturan-benturan, sekalipun di dalamnya ada kebebasan individu, termasuk kebebasan beragama. Atau dapat dikatakan bahwa masyarakat madani mengandaikan suatu masyarakat yang kehidupan agamanya justru melahirkan bukan saja kedamaian, melainkan juga menghadirkan kekuatan untuk maju dan berkembang. Kata “madani” yang berarti “peradaban” dihubungkan dengan kota “Madinah”, yaitu kota yang dibangun dan dipimpin oleh Rasulullah, yang dalam kehidupannya menjunjung kebebasan individu, termasuk kebebasan memeluk dan manjalankaan agamanya masing-masing, yang darinya melahirkan sebuah peradaban yang mencerahkan dunia.
Masyarakat yang dibangun Rasulullah itu memberikan tempat bagi kehidupan agama-agama yang dalam ajarannya sering difahami sebagai saling bertentangan dan dalam realitas sejarahnya saling berperang. Namun Rasulullah menyandingkan komunitas agama itu sedemikian rupa sehingga masing-masingnya saling menghormati dan bahkan saling membantu.
Kehidupan yang toleran antar masyarakat dengan jamak agama itu dengan demikian juga merupakan kekuatan dan modal bagi terciptanya masyarakat madani. Masyarakat madani tanpa kehidupan keagamaan yang toleran sulit dibayangkan akan terbentuk. Agama dalam diri manusia berada dalam keyakinan yang paling dalam dan paling kuat, sehinggga memiliki potensi yang cukup kuat untuk terjadinya “kekerasan” jika tidak tterkendali. Mana kala iitu terjadi, maka masyarakat madani tidak akan tercipta.
Pilar-Pilar Masyarakat Madani
Dari gambaran masyarakat madani yang dibangun Rasulullah, sesuatu yang patut digali ialah pilar-pilar yang menyebabkan masyarakat seperti itu dapat terbentuk. Ada beberapa pilar yang mungkin dapat dikemukakan disini :
- Mengedepankan kesadaran kemanusiaan (Humanisme)
Yang mula-mula dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan atau tindakan adalah bahwa semuanya manusia. Hanya “manusia” yang diciptakan oleh Allah dan dimuliakannya, dan dinafikan dari hal-hal yang menyebabkan masing-masingnya berbeda, baik karena sifat-sifat bawaan khilqiyyah (seperti warna kulit, etnis, dst), maupun karena hal-hal khuluqiyyah, yang datang kemudian (seperti budaya, tabiat, pendapat, fikiran, dan keyakinan, serta agama). Dengan itu, maka dalam mengambil tindakan, atau pergaulan, dipisahkan antara manusia dan sifat-sifatnya yang ada, dengan fokus perhatian pada “manusia” atau “kemanusiaan”nya, melampaui batas-batas perbedaan apapun yang ada, termasuk perbedaan fikiran, keyakinan, dan agama..
- Mengedapankan inisiatif diri (Ibda’ bi nafsik).
Sikap introspeksi dalam melihat kekurangan dan mengambil inisiatif dalam mempersembahkan kebaikan dan keunggulan telah jidikan patokan dalam mengambil kebijakan. Dengan demikian dalam setiap kebijakan yang diambil jauh dari “nafsu” menghakimi, menghukum, apalagi mendendam (orang lain) dan berangkat dari “semangat” memaklumi (tasaamuch), menolong (taraahum), melayani (tawaadu’), dan memberdayakan (ihyaa), dengan menjadikan dirinya sebagai teladan.
- .Mengedepankan perspektif Masa Depan (Wal Aachiratu Khairun).
Kesadaran akan “proses” dikembangkan secara positif. Dengan demikian segala sesuatu difikirkan secara matang, hati-hati dan teliti, dan menyadari segala sesuatunya tidak akan terjadi serta merta (kun fayakun). Dengan demikian, maka keinginan, cita-cita, harapan tidak dipaksakan mendadak, namun dengan positif diusahakan dan diyakini keberhasilannya dii masa yang akan datang, bahkan melampaui titik akhir kehidupannya, sampai akhirat. Sikap ini telah dapat menghindari dari banyak tindakan ad hoc dan pemenuhan kepentingan sesaat.
- Mengedepankan peraihan penghargaan Allah (Thalab Mardlaatillah).
Disadari betul keterbatasan-keterbatasan manusia, maka yang diupayakan adalah keridlaan Allah semata. Dengan itu, maka setiap kebijakan dan tindakannya tidak mengatasnamakan siapa-siapa, tidak mewakili kepentingan siapa-siapa, dan bukan dalam rangka apa-apa, kecuali memohonkan hidayah dan ridlanya. Dengan sikap seperti ini, berarti menghindar dari kebijakan dan tindakan yang merugikan seseorang, atau suatu kelompok dengan keuntungan orang atau kelompok yang lain.
Pilar-pilar itulah yang telah ditemukan dalam kehidupan masyarakat madani di masa Rasulullah, sehingga kehidupan agama dari masing-masing pemeluk mengalir apa adanya dan justru implementasi “keislamam” Rasulullah yang demikian itu, telah mengalirkan kehidupan beragama kearah yang dikehendaki dan diharapkan Islam, hingga melahirkan peradaban yang mencerahkan.
Pilar-pilar itulah yang telah ditemukan dalam kehidupan masyarakat madani di masa Rasulullah, sehingga kehidupan agama dari masing-masing pemeluk mengalir apa adanya dan justru implementasi “keislamam” Rasulullah yang demikian itu, telah mengalirkan kehidupan beragama kearah yang dikehendaki dan diharapkan Islam, hingga melahirkan peradaban yang mencerahkan.
Menumbuhkan Kehidupan Beragama yang Positif pada Peserta Didik
Kehidupan beragama yang positif seperti diharapkan pada masyarakat madani tidak mungkin untuk datang serta merta, melainkan perlu diupayakan secara berkelanjutan sehingga menjadi budaya. Dianttaranya melalui pendidikan di sekolah, di dalam keluarga dan lembaga-lembaga formal lainnya.
Di sekolah mungkin dapat difikirkan aktivitas dengan penekanan-penekanan sbb:
No. Aspek Kehidupan Target Metode
Di sekolah mungkin dapat difikirkan aktivitas dengan penekanan-penekanan sbb:
No. Aspek Kehidupan Target Metode
- Kehidupan Individu Peserta Didik v Penumbuhan pemahaman dan penguatan aqidah yang selamat
- Pengamalan ajaran secara konsekwen,
- Penghayatan manfaat ibadah atas kehidupan
- Peraihan semangat humanisme yang lahir dari kesadarn ibadah, Diskusi,
- Pembiasaan,
- Refleksi
Kehidupan dengan Peserta Didik seagama v Tumbuhnya rasa setiakawan
- Mekarnya kebersamaan dengan semangat humanisme Aktivitas Agama dan Kemanusiaan.
- Role Playing,
- Simulasi,
- Refleksi
Kehidupan dengan Peserta Didik tidak seagama v Tumbuhnya rasa setia kawan dan kebersamaan dengan semangat humanisme. Aktivitas Kemanusiaan.
- Role Playing.
- Simulasi,
- Refleksi
Rancangan diatas mendasarkan fikiran bahwa aspek immaterial-konseptual dibatasi sedemikian rupa dengan lebih menonjolkan aspek material-operasional kehidupan agama yang menonjolkan humanismenya. Asumsinya ialah kehidupan yang dapat dirasakan manfaat dan kebutuhannya secara bersama akan dapat mengurangi sensitivitas yang ditimbulkan dari aspek immaterial-konseptual. Namun demikian, aspek ini perlu tetap ditumbuhkan untuk keperluan individu atau komunitas seagama dengan menghindari singgungan dengan komunitas lain, kecuali jika terjamin kkondusif. Nilai-nilai yang perlu ditanamkan ketika menyinggung aspek immaterial-konseptual ialah konsep yang menjadi pilar-pilar masyarakat madani tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar